Malam itu seusai rapat organisasi, aku segera menstart motorku untuk
pulang. Rasanya pengin sekali segera sampai di rumah, makan, lalu tidur.
Tetapi baru saja sampai di gerbang depan kampus seseorang menyapaku,
dan ketika aku toleh arah suara itu ternyata Rini, anak fakultas
ekonomi. Ngapain anak ini sendirian di gerbang?
Belum pulang, Rin?
Belum Den, habis nungguin bis lewat, lama amat. Jawabnya sambil berkedip-kedip genit.
Bis lewat ditungguin, gue antar deh?
Bener situ mau nganterin?
Yah, pokoknya nggak gratis. Situ tau sendiri deh. Ujarku menggoda.
Ah, bisa aja.
Rini mencubit kecil pinggangku lalu segera naik ke boncengan.
Tangannya melingkat erat di pinggangku, lalu melajulah motor di ramainya
jalanan. Lama-kelamaan si Rini malah menempelkan dadanya di punggungku.
Tau nggak, rasanya benar-benar empuk dan hangat. Wuih, terasa bener
kalau dia nggak pake beha. Sebagai laki-laki normal, wajar dong kalo
batang penisku tiba-tiba menegang.
Den, gimana kalo kita mampir ke taman kota? Aku dengar ada dangdutan di sana. Bisik Rini dekat di telinga kiriku.
Seleramu dangdut juga ya?
Rini kembali mencubit pinggangku, tapi kemudian mengelus-elus
dadaku. Tengkukku mulai merinding. Ada maunya nih anak, pikirku waktu
itu. Mungkin aku sedang dihadapkan salah satu ayam kampus, nih. OK,
siapa takut!
Aku segera membelokkan sepeda motor ke taman kota. Lalu mencari
tempat yang agak remang tapi cukup strategis untuk menikmati isi
panggung yang terletak di tengah taman kota itu. Panggung yang kira-kira
berukuran 66 meter itu tampak meriah dikelilingi ratusan pengunjung.
Irama dangdut menggema memekakkan telinga.
Den, sini dong? Sini, duduk sama aku.
Aku duduk di belakang Rini
yang masih duduk di boncengan motorku. Gadis itu nampaknya asyik benar
mengikuti irama dangdut. Sedang aku lebih tertarik memelototi tubuh
penyanyinya dibanding suaranya yang menurutku biasa saja.
Beberapa orang penyayi bergoyang hot membangkitkan gelora birahi
para pria yang memandangnya, termasuk aku. Pandanganku beralih kepada
Rini. Sayang aku hanya bisa memandang ubun-ubunnya saja. Aroma wangi
menebar dari rambutnya yang bisa dibilang bagus, aroma yang eksotik.
Kalau saja ada kesempatan, desahku.
Den, kok diam saja? Belum pernah lihat orang goyang ya?
Bukannya gitu, cuman gila aja mandang tuh cewek. Berani bener joget kayak gitu,
Ah, segitu saja. Coba kemarikan tanganmu!
Aku mengulurkan tangan kananku. Astaga, gadis itu memasukkan
tanganku di balik bajunya sehinga tanganku benar-benar bisa merasakan
kegemukan dadanya. Keringat dinginku tiba-tiba merembes, dadaku
bergemuruh.
Rin, apa-apaan kamu ini? Ujarku lirih tanpa menarik kembali tanganku.
Kamu nggak suka ya? Tanya Rini kalem.
Engh.. Bukannya begitu..anu Jawabku tergagap.
Aku tau kamu suka. Aku juga suka Den, jadi nggak ada masalah kan? Kata Rini menoleh ke padaku.
I..iya sih.
Yah, begitulah. Akhirnya aku punya kesempatan. Tanganku
membelai-belai dada Rini dengan bebasnya. Mempermainkan putingnya dengan
gemas, kupelintir kesana kemari. Gadis itu bukannya kesakitan, tapi
malah mendesah-desah kegirangan. Aku sendiri sudah nggak tahu berapa
kali menelan ludah. Rasanya ingin memelintir puting itu dengan mulutku.
Rupanya tangan kiriku mulai iri, lalu segera menyusul tangan kananku
menerobos masuk di balik baju Rini. Meremas-remas kedua bukit yang tak
terlihat itu.
Den, Deni.. tangan-tanganmu benar-benar nakal. Hoh.. aduh.. geli Den, Desah Rini menjambak rambutku yang cukup gondrong.
Rin, aku suka sekali.. bagaimana kalau kita..
Uhg.. heeh, iya.. aku mau.
Aku segera menghentikan kegiatanku mengobok-obok isi baju Rini. Lalu
kami segera menuju sebuah hotel yang tak jauh dari taman kota. Tiada
kami peduli dengan beberapa pasang mata yang memandangi kami dengan
sejuta pikiran. Masa bodoh, yang penting aku segera bisa mengencani
Rini.**
Segera aku bayar uang muka sewa kamar, lalu kami melenggang ke kamar
51. Rini yang sedari tadi memeluk tubuhku kini tergeletak di atas
springbed. Matanya yang sayu bagai meminta, tangannya melambai-lambai.
Aku langsung saja membuka kancing bajuku hingga bertelanjang dada.
Den.. sudah lama aku inginkan kamu,
Oya? Kenapa tak bilang dari dulu? Ujarku sambil melepas kancing baju Rini.
Benarlah kini tampak, dua bukit kenyal menempel di dadanya. Tangan
Rini membelai-belai perutku. Rasanya geli dan uh.. lagi-lagi aku
merinding. Kutekan-tekan kedua putingnya, bibir gadis itu mengulum
basah. Matanya yang semakin memejam membuat birahiku semakin terkumpul
menyesakkan dada.
Den.. ayo.. kamu tak ingin mengulumnya? Ayo masukkan ke mulutmu.
Heh.. iya, pasti!
Aku segera mengangkangi Rini lalu berjongkok diatasnya, lalu
menunduk mendekati dadanya. Kemudian segera memasukkan bukit kenyal itu
ke dalam mulutku. Aku hisap putingnya perlahan, tapi semakin aku hisap
rasanya aku pingin lebih sehingga semakin lama aku menghisapnya
kuat-kuat. Seperti dalam haus yang sangat. Ingin rasanya aku
mengeluarkan isi payudara Rini, aku tekan dan remas-remas bukit gemuk
itu penuh nafsu. Rini merintih-rintih kesakitan.
Den.. hati-hati dong, sakit tahu! Perlahan.. perlahan saja Ok? Heh.. Yah, gitu.. eeh hooh..
Busyet, baru menghisap payudara kiri Rini saja spermaku sudah
muncrat. Batang penisku terasa berdenyut-denyut sedikit panas. Rini
bergelinjangan memegangi jeans yang aku pakai, seakan ingin aku segera
melorotnya. Tapi aku belum puas mengemut payudara Rini. Aku pingin
menggilir payudara kanannya. Tapi ketika pandanganku mengarah pada bukit
kanan Rini, wuih! Bengkak sebesar buah semangka. Putingnya nampak merah
menegang, aku masih ingin memandanginya. Tapi Rini ingin bagian yang
adil untuk kedua propertinya itu.
Ayo Den, yang adil dong.. Katanya sambil menyuguhkan payudara kanannya dengan kedua tangannya.
Aku memegangi payudara kanan Rini, mengelusnya perlahan membuat Rini
tersenyum-senyum geli. Ia mendesah-desah ketika aku pelintir putingnya
ke kanan dan ke kiri. Lalu segera mencomot putingnya yang tersipu dengan
mulutku. Puting itu tersendal-sendal oleh lidahku.
Deni.. dahsyat banget, uaohh.. enak.. ayo Den.. teruss..
Rini menceracau tak karuan, tangannya menjambak-jambak rambut
gondrongku. Kakinya bergelinjang-gelinjang kesana kemari. Binal juga
gadis ini, pikirku. Aku berpindah menyamping, menghindari sepakan kaki
Rini. Jangan sampai penisku terkena sepakan kakinya, bisa kalah aku
nanti. Justru dengan menyamping itulah Rini semakin bebas. Bebas membuka
resleting jeans yang dipakainya. Tapi dasar binal! Gerakannya yang tak
karuan membuat kami berguling jatuh di lantai kamar. Dan payudara
kanannya lolos dari kulumanku.
Gimana sih, Rin? Jangan banyak gerak dong! Ujarku sedikit kesal.
Habis kamu ganas banget sih.. Hiburnya dengan tatapan menggoda.
Untuk mengobati kekesalan hatiku Rini segera membuka semua
pakaiannya tanpa kecuali. Jelaslah sudah tubuh mungil Rini yang
mempesona. Air liurku segera terbit, inginnya mengganyang tubuh mungil
itu.
Tubuhnya yang meliuk-liuk semampai, dua payudaranya yang nampak
ranum bengkak sebesar buah semangka, perutnya yang langsing bagai
berstagen tiap hari, ahh.. Lalu, bagian kewanitaannya! Uhh, pussy itu
cukup besar dengan bulu-bulu basah yang menghiasinya. Pahanya yang sekal
membuatku ingin mengelusnya, dan betisnya yang mulus nan langsat..
ehmm.. Maka dengan tergesa-gesa aku melucuti pakaianku, tanpa
terkecuali!
Wah! Pistolmu besar Den! Kata Rini yang segera berjongkok dan meremas gemas batang penisku yang sudah sangat tegang.
Auh.. jangan begitu, geli kan? Jawabku menepis tangannya.
Jangan malu-malu, pistol sebesar ini, pasti ampuh.
Rini terus saja membelai-belai batang penisku yang ukurannya bisa
dibilang mantap. Semakin lama batang penisku semakin menegang, rasanya
mau meledak saja. Tubuhku bagai tersiram air hangat yang kemudian
mengalir di setiap sendi darahku.
Engh, auh.. Aku berdehem-dehem asyik saat Rini asyik memainkan jemari tangannya pada batang penisku.
Telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran yang kemudian
digerak-gerakkan keluar masuk batang penisku. Layaknya penisku bermain
hula hop. Spermaku mencoba meyeruak keluar, tapi aku tahan dengan sekuat
tenaga. Aku remas-remas rambut panjang Rini.
Tapi kemudian Rini yang semakin gemas segera memasukkan batang
keperkasaanku itu ke dalam liang mulutnya. Lalu dia mengemutnya bagai
mengemut es lilin.
Ehg.. ehmm..
Terdengar suara desisan Rini bagai sangat menikmati
batang penisku, begitupun aku. Bagaimana tidak, bibir tebal Rini segera
melumat kulit penisku, lalu lidah Rini menjilat-jilat ujungnya. Nafasku
serasa putus, keringatku merembes dari segala arah. Sedang Rini bagai
kesetanan, terus saja menciptakan sejuta keindahan yang siap diledakkan.
Crot.. crot.. Tak ada yang bisa menahannya lagi. Spermaku keluar
menyembur ke liang mulut Rini. Gadis itu nampak sedikit tersedak,
beberapa sperma muncrat keluar mulutnya dan kemudian membasahi pangkal
penisku.
Ehmm.. ehmm.. keluarkan teruss.. ehmm, Ujar Rini dengan mulut yang penuh dengan cairan spermaku.
Srup, srup, ia meminumnya dengan semangat sambil tangannya menggelayut
di pahaku. Ujung penisku dikenyot-kenyot membuat geloraku makin
berdenyut-denyut.
Karena tak tahan maka tak ayal lagi aku segera menubruknya. Menindih
tubuh mungilnya lalu melahap bibir nakalnya. Lidah kami bergelut di
dalam, menggigit-gigit gemas dan penuh nafsu. Tak peduli Rini
merintih-rintih. Entah karena aku terlalu rakus mengganyang bibirnya,
atau berat menahan tindihanku. Yang pasti rintihan Rini terdengar sangat
merdu di telingaku.
Maka setelah puas mencumbui bibirnya aku segera beralih kepada
pussy-nya. Benda keramat itu entah sudah berapa kali kebobolan, aku tak
peduli. Kali ini ganti kau yang kukerjain, pikirku.
Langsung saja aku lebarkan paha Rini sehingga jelas pussy berumput
yang sangat basah itu. Jemariku memainkan daging gemuk itu. menyusuri
perbukitan yang berlorong. Lalu memelintir klitorisnya ke kanan dan ke
kiri. Surr.. menyembur lagi cairan kewanitaan Rini. Bening menetes
diantara jemariku.
Den.. tunggu apa.. ayo dong..
Aku datang sayang.
Wajahku segera mendekat ke pussy Rini. Lalu tanganku sedikit membuka
si pussy sehingga aku bisa menikmati goa kenikmatan itudengan mataku
walau hanya sebentar. Srup, srup, aku jilati pussy basah itu. Lidahku
sengaja mencari-cari lubang yang mungkin bisa kutembus. Lidahku semakin
ke dalam. Mempermainkan klitorisnya yang kenyal. Tanganku pun
menyempurnakan segalanya. Bermain-main di payudara Rini yang semakin
tegang, mengeras. Sayup-sayup terdengar suara erangan Rini. Aku harap
gadis itu juga menikmatinya.
Ayouhh Den, masukk, aku tak tahan lagi..
Suara gadis itu
terdengar lemah, mungkin sudah keletihan. Aku pun sudah cukup puas
beranal ria. So, tunggu apa lagi?? Aku meminta Rini untuk menungging.
Gadis itu menurut dengan wajah letih namun penuh semangat. Kemudian aku
segera memasukkan penisku ke lubang kawinnya. Mudah. Sekali hentakan
sudah masuk. Lalu kucabut dan kumasukkan berkali-kali. Lalu kubiarkan
terbenam di dalam beberapa menit.
Eghh.. Rini menahan rasa nikmat yang kemudian tercipta.
Tubuhnya
sedikit mengejang tapi kemudian bergoyang-goyang mengikuti gerakan
penisku. Aku segera mengocok penisku dengan kekuatan penuh. Dan
kemudian.. kembali spermaku muncrat keluar memenuhi lubang kawin Rini.
Beberapa saat kami saling menikmati kenikmatan itu. darahku seakan
berhenti mengalir seperti ada hawa panas yang menggantikan aliran
darahku. Seluruh persendian terasa tegang, tapi kemudian seperti ada
rasa kepuasan yang tak bisa terucapkan.
Hingga kemudian aku mencabut kembali batang penisku dari pussy Rini.
Gadis itu kembali terlentang di lantai kamar hotel. Sedang aku segera
menghempaskan tubuhku di atas kasur. Dinginnya lantai kamar yang
menyentuh jemari kakiku tak bisa mengalahkan panasnya suasana kamar itu.
Bau keringat kami berbaur.
Namun tiba-tiba batang penisku yang sudah mulai mengendur tersentuh
kulit halus wanita. Ketika aku mendongakkan wajah ternyata Rini yang
telah duduk di depan kakiku sambil mengelus-elus batang penisku.
Den, kamu hebat banget. Aku benar-benar puas.
Ehng.. kamu juga. Sekarang kamu mau minta apa??
Gadis itu masih diam sambil terus mempermainkan batang penisku.
Gawat, bisa-bisa bangun lagi batang penisku. Bisa perang lagi nih, dobel
dong tarifnya.
Kamu minta apa? HP? Duit?
Aku minta.. minta lagi deh, Kata Rini yang kemudian kembali mengenyot batang penisku.
Waduh, bisa-bisa lembur nih!, pikirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar